Saturday, October 13, 2012

Prosedur Pelaksanaan Teknik Konseling Self-Instruction Dalam Menangani Kejenuhan Belajar



Dalam menggunakan teknik self-instruction, ada beberapa prosedur yang harus dilakukan agar intervensi  yang dilakukan efektif. Prosedur penggunaan teknik self-instruction dalam menangani kejenuhan belajar  diarahkan untuk restrukturisasi sistem berpikir (core beliefe) melalui perubahan pola verbalisasi diri (self statement) yang positif sehingga lebih adaptif. Prosedur penggunaan self-instruction pada awalnya  digunakan oleh Meichenbaum dan Goodman untuk menangani anak yang impulsif. Selanjutnya prosedur teknik self-instruction dapat diadaptasi untuk menangani masalah orang dewasa dengan beragam masalah Martin & Pear, 2007; Rokke & Rehm, 2001; Shapiro&Cole, 1994). Berikut prosedur untuk melakukan self-instruction dalam menangani kejenuhan belajar.
  1. Cognitive Modeling. Konselor melakukan demonstrasi instruksi diri dengan suara yang keras. Hal  yang penting adalah ungkapan diri  (self-statement) yang cocok untuk anak. Misalkan “Saya pasti bisa mengendalikan diri saya untuk semangat belajar. Pertama saya harus sabar dalam berbagai situasi. Saya pasti bisa melakukannya”.
  2. Overt external guidance. Konseli melakukan verbalisasi seperti yang konselor lakukan dibawah   instruksi konselor. Pada tahapan ini,  kata-kata yang diistruksikan harus sama dengan yang konselor  contohkan seperti di atas. Konselor melakukan instruksi secara langsung, mengarahkan dan memperbaiki  kesalahan konseli dalam mempraktekkan  perilaku yang diinstruksikan.
  3. Overt self-guidance. Konseli melakukan perbuatan (performance) yang tepat saat melakukan verbalisasi diri dengan suara yang keras. Pada tahapan ini, konseli melakukan pengulangan verbalisasi diri seperti yang dimodelkan oleh konselor sampai melibatkan perilaku yang tepat.
  4. Faded overt self-guidance. Konseli menunjukkan perbuatan dan perilaku yang tepat saat  membisikan perkataan instruksi diri. Konseli melakukan pengulangan tugas seperti yang diinstruksikan dan memuji diri sendiri lebih banyak secara lembut.
  5. Covert  self-instruction. Akhirnya pada tahapan ini, konseli akan terbiasa untuk melakukan  instruksi secara tersembunyi dan mampu melakukan perilaku yang tepat.
Refrensi :
  1. http://wawasanbk.blogspot.com/
  2. Martin, Garry & Joseph Fear. (2005). Behavior Modification : What It Is and How To Do it. New Jersey : Pearson Prentice Hall.
  3. Shapiro, E. S & Christine L. C. (1994). Behavior Change in The Classroom: Self- Management Interventions. New York : The Guilford Press.
  4. http://wawasanbk.blogspot.com/2012/10/prosedur-pelaksanaan-teknik-konseling.html


Friday, October 12, 2012

Teknik Konseling Self-Instruction


Definisi self-instruction menurut Bryan & Budd (1982 : 259) yaitu “self- instruction is a procedure designed to enhance an individual’s self-control through verbal statements that  prompt,  guide, and maintain  nonverbal  actions.”  Self- instruction merupakan prosedur yang dirancang untuk meningkatkan kendali diri secara tersendiri/ mandiri melalui pernyataan-pernyataan verbal yang mendorong, membimbing dan memelihara tindakan-tindakan non-verbal. Blackwood, Dubey & O’Leary, dan Vygotsky (Chang Tang, 2006) mengemukakan self-instruction approach is to emply verbally mediated training to enhance self-control via the use of  the  self-verbalizations  as discriminative stimuli and reinforcers during the performance of a task. Pendekatan self-instruction yaitu menggunakan pelatihan mediasi verbal untuk meningkatkan kendali diri dengan menggunakan verbalisasi diri sebagai penguat selama  melaksanakan  tugas. Kendell & Braswell (1985) menambahkan self-instruction merupakan pernyataan-pernyataan pengarahan diri yang menerapkan strategi berpikir untuk anak dengan mengurangi area (pemikiran negatif)  dan pada gilirannya sebagai bimbingan bagi anak dalam menindaklanjuti penyelesaian proses-proses pemecahan masalah. Self-instruction menggambarkan keinginan untuk merinci proses-proses (pemecahan masalah) ke dalam tahapan- tahapan tersendiri dan karena itu, setiap self-instruction menunjukkan satu tahap penyelesaian masalah.

Self-Instruction merupakan suatu teknik untuk membantu konseli terhadap apa yang konseli katakan kepada dirinya dan menggantikan pernyataan diri yang lebih adaptif (Ilfiandra, 2008). Hal ini berdasarkan pada asumsi Meichenbaum (Baker  dan  Butler,  1984)  yang  mengatakan  bahwa  individu  yang  mengalami perilaku salah (maladjustment) adalah karena pikiran irasional yang diakibatkan kesalahan dalam  melakukan  verbalisasi  diri  (self-verbalization). Teknik  self-instruction  mengganti  verbalisasi  yang  kurang tepat  terhadap  diri dengan verbalisasi yang lebih dapat diterima.  Elisa (2005) menambahkan Konsep Self-Instructional Coping Methods yaitu mengganti pikiran negatif menjadi positif untuk merubah perilaku.  Dengan demikian, self-instruction  merupakan  teknik pengarahan diri melalui verbalisasi diri yang  mengganti  pikiran  yang  negatif dengan pikiran yang positif untuk memperbaiki perilaku.

Dari berbagai definisi yang diungkapkan oleh para ahli, disimpulkan bahwa teknik self-instruction merupakan teknik verbalisasi diri dengan mengganti pikiran negatif menjadi pikiran positif melalui berbagai tahapan untuk memperbaiki perilaku.

Refrensi :
  1. http://wawasanbk.blogspot.com/2012/10/teknik-konseling-self-instruction.html
  2. Bryant, Lorrie E &  Karren  S.  Budd.  (1982).  Self  Instructional Training To Increase  Independent  Work  Performance  In  Pre  Schooler.  Journal  of Applied  Behavior  Analysis. Vol.  15  No.2.  PP.  259-271. University  of Nebraska Medical Center.
  3. Baker, Stanley B. & James N. Butler. (1984). Effects of Preventive Cognitive Self- Instruction  Training  on  Adolescent  Attitudes,  Experiences,  and  State Anxiety. Journal of Primary Prevention. Vol. 5. No. 1. PP. 17-25.
  4. Ilfiandra  (2002). Program Pelatihan untuk Membantu Guru yang Mengalami Kejenuhan Kerja. Tesis PPS UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.
  5. Elisa (2005). Cognitive Behavioral Therapy. (online). Tersedia : elisa1.ugm.ac.id/files/neila_psi/TAQEB3cN/CBT.doc. (update 7 September 2012)
  6. http://wawasanbk.blogspot.com/


Dampak Kejenuhan Belajar Bagi Siswa


Kejenuhan belajar dapat menimbulkan dampak buruk pada kondisi psikologis individu dan pencapaian prestasinya. Cherniss (1980:65) mengungkapkan bahwa dampak psikis dari kejenuhan akan berakibat  pada kemandekan pencapaian prestasi individu secara personal, akademik,sosial atau professional. Sedangkan Sugara (2011 : 19) mengemukakan bahwa dampak dari kejenuhan  belajar adalah menjadikan siswa tidak produktif  dalam belajar dan potensi yang dimilikinya terhambat. Selain itu, bentuk resistensi lain dari kejenuhan belajar juga mengakibatkan proses pembelajaran menjadi tidak efektif dan tidak kondusifnya iklim emosional di dalam kelas. Hal ini terjadi karena siswa mengalami keletihan secara fisik, mental dan emosional. Adapun Makmun (2001:134) mengemukakan kejenuhan belajar dinilai sebagai  ketidakmampuan daya ingatan mengakomodasikan informasi atau pengalaman baru atau individu merasakan bahwa hasil belajar tidak ada kemajuan untuk beberapa waktu tertentu.

Hasil  penelitian yang dilakukan oleh Agustin  (2008:9) di kalangan mahasiswa menunjukkan bahwa dampak yang dirasakan akibat kejenuhan belajar yaitu : (1) menjadi suka marah-marah 25, 5 %, (2) sering susah tidur 26, 5 %, (3) tidak peduli dengan tugas perkuliahan (tugas belajar) 14, 5 %, (4) tidak peduli dengan nilai (raport) 14,5 %, (5) mudah bosan dengan kegiatan belajar 57 %, (6) menjadi mudah tersinggung 31,5 %, (7) sering gelisah 44 %, (8) menjadi mudah sakit 13 %, (9) sering merasa gagal 21,5 %, dan (10) merasa rendah diri 23,5 %. Ilfiandra  (2002: 66) menambahkan konsekuensi dari  burnout  yang  terjadi  di kalangan para guru yaitu ; (1) hancurnya semangat hidup atau kerja (belajar),(2) keputusan untuk berhenti  selamanya  dari  profesinya   (putus   sekolah),  (3) terperangkap dalam tugas, (4) apatis menunggu pensiun tiba, (5) meninggalkan tugas awal dengan mengejar rentang jabatan yang lebih tinggi, (6) membentuk coping strategy yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan pribadi (personal growth).

Berdasarkan uraian tersebut, kejenuhan belajar jika dibiarkan dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan memburuknya kondisi psikologis individu yang bisa mempengaruhi pada kualitas diri individu, pencapaian prestasi dan masa depannya.

Refrensi :


  1. http://wawasanbk.blogspot.com/2012/10/dampak-kejenuhan-belajar-bagi-siswa.html
  2. Agustin,  M.  (2008).  Model  Konseling  Kognitif  Perilaku  untuk  Menangani Kejenuhan   Belajar   Mahasiswa.   Disertasi   Doktor   pada   PPs   UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.
  3. Cherniss (1980). Staff Burnout Job Stress in The Human Service. London : Sage Publications.
  4. Sugara,  G.  S.  (2011).  Efektivitas  Teknik  Self-Instruction  dalam Menangani Kejenuhan   Belajar   Siswa.   Skripsi   Jurusan   PPB-FIP   UPI.   (Tidak Diterbitkan).
  5. Makmun, A. 2000. Psikologi Kependidikan. Edisi Revisi. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
  6. http://wawasanbk.blogspot.com/


Faktor Penyebab Kejenuhan Belajar


Dalam penelitiannya, Maslach & Leiter (Yen-Jang, 2004) menunjukkan bahwa kejenuhan belajar terjadi  karena beberapa faktor seperti kurangnya penghargaan, kurangnya pengawasan, beban tugas akademis  yang berlebihan, konflik nilai, kurangnya keadilan, kurangnya persamaan dapat membuat seseorang mengalami kejenuhan.

Para ahli menyebutkan beragam faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kejenuhan belajar. Secara garis besar, faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kejenuhan belajar menurut Jacob et al (2003), Maslach & Leiter (1997), Hui-Jen Yang (2004), Yueh-Tzu  Kao (2009) Agustin  (2009) yaitu:  (1) karakteristik pribadi (personal characteristic), (2) dukungan sosial (social support), dan (3) Beban akademis yang berlebihan (courseload). Secara  lebih rinci, ketiga faktor tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.


Faktor kepribadian dapat mempengaruhi terjadinya kejenuhan belajar (Karabiyik et al, 2009; Jacobs et al,  2003; Agustin, 2009; Salami, 2002).Kepribadian adalah kualitas total sikap, kebiasaan, karakter dan perilaku manusia. Karakteristik kepribadian yang rentan mengalami kejenuhan adalah individu yang idealis,  perfeksionis  dan  ekstrovert  (Karabiyik et al, 2009). Pendapat lain dikemukakan oleh Schaufeli &   Ezman (Salami, 2009) yang menjelaskan karakteristik kepribadian yang rentan mengalami kejenuhan adalah kepribadian neurotis. Sementara penelitian Salami (2002) menghasilkan beberapa fakta bahwa karakteritik kepribadian yang rentan mengalami kejenuhan yakni neurotis, ekstrovert, terlalu berhati-hati, agresif, dan mudah menyerah. Kemampuan yang rendah dalam mengendalikanemosi juga merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang menimbulkan kejenuhan (Agustin, 2009 : 38). Individu yang tidak bisa menerima keadaan, penuh obsesi, dan perfeksionis mengalami tingkat kejenuhan belajar yang tinggi (Caputo, 1991; Farber, 1991; Cherniss, 1980). Fakta lain menunjukkan bahwa individu yang memiliki konsep diri  rendah  rentan mengalami  kejenuhan belajar  (Maslach & Leiter,  1993). Karakteristik individu yang tidak memiliki rasa percaya diri dan pasrah menerima apapun sehingga dengan banyaknya beban akademis (academic  workload) membuat stress yang bertahan sehingga mengalami kejenuhan belajar. Hasil  penelitian yang dilakukan oleh Evers et al  (2002)  menunjukkan bahwa seseorang  yang  memiliki keyakinan diri tinggi memiliki tingkat kemungkinan mengalamai kejenuhan yang rendah daripada seseorang yang memiliki keyakinan diri rendah. Faktor karakteristik diri ini sangat luas sekali wilayahnya dalam menentukan kejenuhan belajar. Individu yang kurang terampil dalam mengelola stress akan rentan mengalami kejenuhan belajar. Karakteristi individu atau  pribadi yang  menyebabkan kejenuhan belajar dapat  digolongkan menjadi dua faktor, yaitu faktor demografik (seperti usia, jenis kelamin, budaya) dan  faktor  kepribadian.  Dari  hasil  penelitiannya,  Uludag & Yaratan (2010) menemukan  bahwa  siswa yang lebih  lama belajar lebih rentan  mengalami kejenuhan daripada siswa yang masih pemula.

Fakta yang menarik ditemukan oleh Jacobs et al (2003)bahwasanya siswa lebih  rentan terhadap stress  belajar dibandingkan dengan para siswi.  Farber (Agustin,  2009:34)  menemukan  bahwa  pria  lebih  rentan  terhadap stress dan mengalami kejenuhan jika dibandingkan dengan wanita. Pendapat yang sama juga dikemukakan dalam  penelitian  Doyle & Hind  (Karabiyik et al, 2009) yang menemukan bahwa wanita lebih rentan mengalami stress yang tinggi akan tetapi tingkat kejenuhan rendah.Wanita lebih lentur jika  dibandingkan dengan pria, karena dipersiapkan dengan lebih baik atau secara emosional  lebih  mampu menangani tekanan yang besar.


Selain berkaitan dengan karakteristik pribadi,  kejenuhan  belajar  dapat terjadi karena faktor lingkungan belajar, seperti tugas yang berat, jam belajar yang padat, tanggung jawab yang harus dipikul, pekerjaan rutin dan yang bukan rutin dan pekerjaan administrasi lainnya yang melampui kapasitas dan kemampuan dirinya (Agustin, 2009:32). Hubungan yang kurang baik dengan teman belajar, atau dengan guru menjadi pemicu munculnya kejenuhan pada peserta didik. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan nilai pribadi, perbedaan pendekatan dalam melihat permasalahan, dan mengutamakan kepentingan pribadi dalam kompetisi belajar (Jacobs et al, 2003).Individu yang memiliki dukungan sosial yang tinggi memiliki kemampuan untuk mengelola stress dengan baik (Salamani, 2002). Lingkungan belajar yang menyenangkan, saling  menghargai  dan beban belajar yang tidak berlebihan merupakan hal yang positif dalam meningkatkan kualitas   pembelajaran.

Sementara  Hui-Jen  Yang  (2004) menemukan bahwa harapan yang berlebih kepada  individu  tanpa  diberikan  suatu  penghargaan  sangat  rentan  membuat seseorang mengalami kejenuhan belajar. Kurangnya dukungan sosial, baik itu dari teman, guru, keluarga hingga masyarakat bisa menimbulkan kejenuhan  belajar. Farber  (Agustin,  2009:41) mengemukakan bahwa keacuhan teman, ketidakpekaan dosen dan lembaga, orang tua yang tidak peduli, kurangnya apresiasi masyarakat terhadap prestasi siswa, ruang kuliah yang terlalu padat, tugas akademik yang berlebihan, bangunan fisik sekolah yang tidak baik, hilangnya otonomi, dan keuangan yang tidak memadai merupakan beberapa faktor lingkungan sosial yang turut berperan menimbulkan kejenuhan belajar. Dengan demikian, dukungan yang minim dari lingkungan dapat menyebabkan terjadinya kejenuhan belajar. Baiknya kualitas hubungan dengan teman di sekolah bisa  mereduksi terjadinya kejenuhan belajar. Beberapa penelitian menemukan bahwa dukungan sosial dari  teman belajar memiliki pengaruh baik yang positif maupun yang negatif terhadap kejenuhan belajar (Salamani, 2002; Schaufeli & Ezman, 1998). Sisi positif yang dapat diambil yaitu mereka merupakan sumber emosional bagi individu saat menghadapi masalah dengan lingkungan. Sisi negatif dari dukungan teman belajar adalah terjadinya hubungan sosial yang buruk antar teman belajar yang menyebabkan siswa mengalami kejenuhan belajar.


Dalam mengikuti kegiatan belajar, individu memerlukan waktu dan tenaga untuk memahami orang lain dalam berinteraksi di kelas.Selain itu, pemberian tugas  rumah  yang  banyak  dan standar nilai  tinggi  menyebabkan  siswa stress dalam belajar. Maslach & Leiter (1997) mengemukakan bahwa beban akademis yang berlebihan mengandung makna menghabiskan waktu dan tenaga sehingga menyebabkan kejenuhan. Selain itu, harapan yang tinggi dari lingkungan sekolah terhadap siswa memberikan kontribusi besar untuk terjadinya kejenuhan belajar. Jacobs  et  al,  (2003) menambahkan bahwa beban akademis yang berlebihan memiliki  hubungan  yang  positif  dengan  kejenuhan  belajar  yang  dialami  oleh siswa. Faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap kejenuhan belajar adalah persepsi  siswa  terhadap beban kerja akademis. Ketika  siswa  mempersepsikan beban tugas menjadi beban berlebih bagi mereka, maka itu akan menyebabkan lemahnya motivasi, menurunnya prestasi dan merasa gagal (Hui-Yen Jang, 2004).

Refrensi:

  1. http://wawasanbk.blogspot.com/2012/10/faktor-penyebab-kejenuhan-belajar.html
  2. Maslach,  C   &   Leiter,  P.M.  (1993).   The  Tructh  About  Burnout.   How  to Organizations  Cause  Personal  Stress  and  What  to  Do  About  it.  San Francisco : Jorsey-Bass Publishers.
  3. Jacobs, et al. (2003). Student Burnout as a Function Personality, Social Support, and Work Load. Jorunal of Collage Development. [Online]. Tersedia : www.findarticle.com/p/article/mi. [14 November 2009].
  4. Agustin,  M.  (2008).  Model  Konseling  Kognitif  Perilaku  untuk  Menangani Kejenuhan   Belajar   Mahasiswa.   Disertasi   Doktor   pada   PPs   UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.
  5. Karabiyik, L. et al. (2009). Determining The Factors That Affect Burnout Among Academicians. Journal of Ankara University. Vol. 63. No. 2. PP. 92-114
  6. Maslach,  C   &   Leiter,  P.M.  (1993).   The  Tructh  About  Burnout.   How  to Organizations  Cause  Personal  Stress  and  What  to  Do  About  it.  San Francisco : Jorsey-
  7. http://wawasanbk.blogspot.com/

Kejenuhan Dalam Proses Pembelajaran


Maslach dan Leiter (1993) menyatakan bahwa kejenuhan merupakan hasil dari tekanan emosional yang konstan dan berulang, yang diasosiasikan dengan keterlibatan  yang  intensif dalam hubungan  antar  personal  untuk jangka  waktu yang  lama. Hal tersebut senada dengan apa yang dinyatakan oleh  Pines  & Aronson (Silvar, 2001) yang menjelaskan “Burnout may be defined as a state of physical, emotional and mental   exhaustion that results from ong-term involvement with people in situations that are emotionally   demanding”. Kejenuhan didefinisikan sebagai keletihan fisik, emosi dan mental yang terjadi dalam waktu yang panjang atas keterlibatan dengan orang-orang dalam berbagai situasi emosional yang menegangkan. Sedangkan Cherniss  (1980 : 16) mendefinisikan “Burnout is defined as psychological withdrawal from work in response to excessive stres or dissatisfaction”. Menurutnya, kejenuhan merupakan bentuk penarikan diri secara  psikologis dari suatu pekerjaan dalam merespon stress yang berlebihan atau terhadap ketidakpuasan.  Hal tersebut diperjelas oleh Cherniss, Jacobs et.al dan  Skovholt (Agustin,  2009  :81) yang mengemukakan bahwa  kejenuhan  belajar  sebagai  perubahan sikap  dan  perilaku  belajar dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis yang merupakan hasil dari sebuah reaksi  terhadap: (1) harapan dan tujuan yang tidak realistik dalam melihat perubahan yang diinginkan dalam belajar; (2) kegiatan yang mempunyai tuntutan interaksi behavioral  yang relatif konstan dengan orang lain serta  lingkungan belajar; dan  (c) tujuan jangka panjang yang sulit dicapai.

Kemunculan kejenuhan belajar bermula dari proses pengulangan kegiatan belajar dalam waktu yang  panjang  dan   tidak   menghasilkan prestasi yang memuaskan. Sehingga, muncul merasaan letih pada individu baik secara fisik maupun psikis. Corey (Cherniss, 1980) mendefinisikan kejenuhan belajar sebagai suatu keadaan kelelahan fisik, mental, sikap dan emosi individu atau pekerjaan karena  keterlibatan yang  intensif  dengan  pekerjaan dalam jangka waktu yang panjang. Sementara Agustin (2009:31) menjelaskan kejenuhan belajar merupakan kondisi  emosional  ketika  seseorang  mahasiswa/siswa  merasa  lelah  dan jenuh secara  mental  maupun  fisik  sebagai  akibat  tuntutan pekerjaan akademik yang meningkat.Dengan demikian, dari berbagai pandangan para ahli mengenai definisi kejenuhan belajar dapat ditarik kesimpulan bahwa kejenuhan belajar merupakan gejala psikologis yang menunjukkan keletihan emosi, sinis atau depersonalisasi dan  menurunnya  keyakinan  akademik  siswa  karena  keterlibatan  yang  intensif dengan tuntutan belajar yang berlangsung cukup lama.

Dalam konteks pendekatan  kognitif-perilaku, kejenuhan belajar terjadi karena meknisme Stimulus-Kognisi-Respon (SKR) yaitu siswa yang mengalami kejenuhan  belajar  mengalami keletihan baik secara  fisik,  emosional  maupun mental yang diakibatkan dari stimulus dari lingkungan yaitu tuntutan akademis. Proses  tersebut  masuk  ke  dalam  aspek  kognisi  dari  siswa  kemudian  diolah menjadi suatu pemikiran yang irasional dan hasilnya berupa respon perilaku yang destruktif seperti keletihan belajar, timbul rasa malas, merasa tidak berdaya dan tidak berarti, merasa tidak ada harapan, merasa terjebak dalam kesedihan yang mendalam, merasa malu dan tidak nyaman, yang pada gilirannya meningkatkan rasa kesal dan  membentuk  lingkaran terus  berlanjut  sehingga  menimbulkan kelelahan fisik, kelelahan mental dan kelelahan emosional (Agustin, 2009). Dalam pandangan  pendekatan  kognitif-perilaku,  kejenuhan  belajar  ini  adalah  bentuk respon dari hasil olah pemikiran dan perasaan individu dalam mempertahankan diri dari stres yang berkepanjangan (defensive coping). Kejenuhan  belajar  terjadi  karena  adanya  irasionalitas-irasionalitas  atau terjadinya distorsi kognitif yang dimiliki oleh persepsi siswa terhadap tuntutan akademis. Ellis   (2006:34)   mengungkapkan   irasionalitas   yang   terjadi   pada seseorang  mengandung  kebodohan  dan  hal  yang  tidak  realistik.  Adapun  yang menjadi  pikiran-pikiran  irasional  ini  adalah :  (1)  irasionalitas  yang  berkaitan dengan  ego  seperti  kebutuhan  untuk  mendapatkan  status  bahwa  dirinya  pintar padahal  tidak  sesuai  dengan  kemampuannya,  (2)  irasionalitas yang berkaitan dengan pemikiran seperti munculnya perasaan sinis (cynism) terhadap belajar, (3) irasionalitas  yang  membentuk  kebiasaan  seperti  melakukan  kebiasaan  tidak mengerjakan tugas dan berleha-leha, (4) irasionalitas penghindaran seperti  sikap menunda-nunda tugas, (5) irasionalitas amoralitas seperti merasa membolos dari sekolah, 6) irasionalitas yang  berhubungan  dengan  tuntutan  seperti  menuntut dirinya mendapatkan nilai bagus agar bisa dihargai orang lain. Dengan demikian, pola irasionalitas-irasionalitas tersebut membuat siswa mengalami kejenuhan dalam belajar.

Kejenuhan  belajar  bisa  terjadi  ketika  siswa  lebih  banyak  mengarahkan pikirannya ke arah yang negatif terhadap kegiatan dan peristiwa belajar dalam waktu yang lama. Canfield danHansen (Elfiky, 2009) menyatakan setiap manusia menghadapi lebih dari 60.000 pikiran. Satu-satunya yang dibutuhkan sejumlah besar ini adalah pengarahan. Jika arah  yang ditentukan bersifat negatif, maka sekitar 60.000 pikiran akan keluar dari memori ke arah negatif.  Sebaliknya, jika pengarahannya positif maka sejumlah pikiran yang sama juga akan keluar dari ruang memori ke arah positif. Dengan demikian, pola berpikir negatif terhadap kegiatan dan peristiwa belajar akan menimbulkan kejenuhan dalam belajar.

Refrensi:

  1. http://wawasanbk.blogspot.com/2012/10/kejenuhan-dalam-proses-pembelajaran.html
  2. Maslach, C&Leiter,  P.M. (1993). The Tructh About Burnout. How to Organizations  Cause  Personal  Stress  and  What  to  Do  About  it.  San Francisco : Jorsey-Bass Publishers.
  3. Silvar, B. (2001). The syndrome of burnout, self-image, and anxiety with grammar school  students.  Journal  of  Psychology.  Vol.  10. No.2. PP. 21-32. Board of Education of the Republic of Slovenia.
  4. Cherniss (1980). Staff Burnout Job Stress in The Human Service. London : Sage Publications.
  5. Agustin,  M.  (2008).  Model  Konseling Kognitif  Perilaku  untuk Menangani Kejenuhan Belajar   Mahasiswa.  Disertasi  Doktor  pada  PPs  UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.
  6. Ellis,  A.  (2006). Terapi  REBT  Agar  Hidup Bebas Derita. Alih Bahasa oleh Ikramullah.Yogyakarta : B-First.
  7. Elfiky,  I.  (2009).  Terapi  Berpikir  Positif  (Penerjemah : Quwwat  al-Taufir). Bandung : Zaman.
  8. http://wawasanbk.blogspot.com/

Penggunaan Teknik Konseling Self-Instruction Untuk Mengatasi Stress Akademik Siswa


Self-Instruction Training merupakan sebuah metodologi yang diadaptasi dari modifikasi konseling kognitif perilaku yang dikembangkan oleh Meichenbaum pada tahun 1977. Meichenbaum menduga bahwa beberapa perilaku maladaptif dipengaruhi oleh pikiran irasional yang menyebabkan verbalisasi diri yang tidak tepat (Baker & Butler, 1984).

Pendekatan self-instruction ini merupakan sebuah latihan untuk meningkatkan kontrol diri dengan   menggunakan verbalisasi  diri  sebagai rangsangan dan penguatan selama menjalani treatment (Blackwood, et al., dalam Tang, 2006:76 ). Self instruction  Training  adalah suatu teknik untuk membantu  klien terhadap apa yang konseli katakan kepada dirinya dan menggantikan pernyataan diri  yang  lebih adaptif  (Ilfiandra, 2008).  Hal ini berdasarkan pada asumsi Meichenbaum (Baker & Butler, 1984) yang menyatakan bahwa individu yang mengalami perilaku salah  suai  dikarenakan  pikiran  irasional yang diakibatkan kesalahan dalam melakukan verbalisasi diri. Oleh karena itu teknik self- instruction berperan untuk mengganti verbalisasi diri yang kurang tepat dengan verbalisasi yang lebih dapat diterima. Safaria (2004:75) menjelaskan ada tiga cara dalam menerapkan teknik self-instruction, yaitu :
  1. Metode non direktif yaitu dengan  memberikan  instruksi kepada konseli, kemudian konseli mencobanya secara berulang-ulang melalui aktivitas dan verbalisasi.
  2. Metode  interaktif  yang  dipasangkan  dengan  teknik  kontrol  diri  seperti monitoring diri, evaluasi diri, dan penguatan diri.
  3. Metode penerapan modeling, imitasi, dan eksekusi. Yakni terapis pertama tama  mencontohkan,   kemudian  konseli  menirukannya bersama terapis, setelah konseli mampu maka konseli diinstruksikan untuk mengerjakannya sendiri.
Dalam menangani masalah stres akademik, teknik self-instruction yang digunakan adalah model  Meichenbaum &  Goodman  (Rokke &  Rehm  dalam Sugara, 2011:36) yang menyatakan bahwa terdapat tiga tahapan yang digunakan dalam teknik ini yaitu :
  1. Tahapan  pertama  yaitu  pengumpulan  informasi  yang berkaitan  dengan konseptualisasi masalah yang dihadapi. Dalam tahapan ini konseli diharapkan ebih sensitif terhadap pikiran, perasaan, perbuatan, reaksi fisiologis dan pola reaksi terhadap orang lain dan lingkungan belajar.
  2. Tahapan  kedua  yaitu  melakukan  konseptualisasi  terhadap  masalah.  Pada tahapan  ini  konselor  merencanakan intervensi dalam konteks melakukan observasi terhadap masalah. Konselor mengidentifikasi pikiran dan perasaan yang irasional yang menyebabkan terjadinya masalah.
  3. Tahapan ketiga yaitu melakukan perubahan langsung. Tahapan ini merupakan tahapan perubahan perilaku dengan menggunakan ungkapan diri.
Teknik self-instruction yang digunakan dalam mereduksi stres akademik ini bertujuan untuk melakukan restrukturisasi sistem berpikir melalui perubahan verbalisasi  diri  yang  positif  sehingga  melahirkan  perilaku  yang  lebih  adaptif Adapun prosedur dalam melakukan teknik self-instruction untuk mereduksi stres akademik  yang  disebutkan  oleh Meichenbaum  &  Goodman (Bryant  &  Budd, 1982) adalah sebagai berikut :
  1. Konselor menjadi model dengan memverbalisasikan langkah-langkah dalam self-instruction  dengan suara keras.
  2. Konseli  melakukan  verbalisasi  seperti  yang  dicontohkan  oleh  konselor dengan suara keras.
  3. Konseli mengungkapkan verbalisasi diri dengan suara yang keras seperti apa yang konselor bisikkan kepadanya.
  4. Konseli  mengungkapkan  verbalisasi  diri  dengan suara berbisik  dengan melihat gerak bibir konselor yang memberikan isyarat kepadanya.
  5. Konseli melakukan tugasnya dengan hanya menggerakkan bibir dan tanpa suara.
  6. Konseli  diminta  untuk  mengucapkan  kata-kata  untuk  dirinya  sendiri  saat melakukan teknik ini.
Verbalisasi dalam self-instruction yang diajarkan disini mencakup lima tipe,  yaitu  :  a) berhenti  dan  lihat;  b) bertanya  mengenai  tugas  yang diberikan (misalnya  “Apa  yang  guru  inginkan  dari  saya”); c)  menjawab  pertanyaan mengenai  tugas  yang  diberikan  (misalnya  “Benar,  saya  harus  bisa  memenuhi harapan  mereka); d)  self-instruction  untuk  membimbing  konseli  melalui  tugas (misalnya,  “yang  ini  terlihat  sama  dengan  yang  itu,  jadi  saya  memilih  yang berbeda dari keduanya); dan e) pengakuan diri bahwa tugas telah terselesaikan (misalnya, “saya telah melakukan pekerjaan ini dengan sangat baik”) (Bryant & Budd, 1982: 265).

Self-instruction  training  dimaksudkan sebagai strategi pemecahan masalah yang  dialami oleh anak.  Sesuai  dengan  pendapat  Meichenbaum  dan Asarnow bahwa seharusnya  mengajarkan anak untuk  tidak  berpikir “apa” melainkan“bagaimana” dalam melakukan  sesuatu, serta untuk memfasilitasi prosedur  mediasi  kognitif  dalam  memecahkan  permasalahan  anak  (Bryant  & Budd, 1982: 260).

Self-instruction training telah terbukti efektif dalam meningkatkan performa anak-anak dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah (Douglas, Parry, Marton, & Garson, 1976; Kendall & Finch, 1978; Meichenbaum & Goodman, 1971;  Palkes,  Stewart,  &  Freedman,  1972;  Palkes,  Stewart,  &  Kahana,  1968; Robin,  Armel, & O'Leary,  1975  dalam  Bryant  &  Budd,  1982:  260).  Hasil penelitian  tersebut senada  dengan  hasil peneletian  Gueveremont et al., (1988) yang menyatakan bahwa self-instruction training yang diterapkan pada beberapa anak usia pra sekolah dapat mengubah cara anak tersebut dalam merespon tugas akademik (Vintere et al., 2004:306).

Mischel (Safaria, 2004:75) mengemukakan hasil  studinya bahwa anak dapat menunda keinginannya dan mengatasi godaan melalui penggunaan strategi coping verbal seperti self-talk, self-instruction, self-sugestion. Sedangkan menurut Rusch& Kostewicz (O’Donohue & Fisher, 2009: 235) self-instruction training dapat meningkatkan tanggung jawab siswa untuk memberi tanggapan secara tegas berdasarkan situasi yang mereka hadapi untuk mencari solusi atas permasalahannya secara mandiri.

Refrensi :

  1. http://wawasanbk.blogspot.com/2012/10/penggunaan-teknik-self-instruction.html
  2. Baker, Stanley B. & James N. Butler. (1984). Effect of Preventife Cognitive Self- Instruction  Training  on  Adolescent  Attitudes,  Experiences,  and  State Anxiety. Journal of Premary Prevention. Vol. 5(1), 17-25.
  3. Bryant,  Lorrie  E  &  Karren  S.  Budd.  (1982).  Self  Instructional  Training  To Increase  Independent  Work  Performance  In  Pre  School.  Journal  of Applied Behaviour Analysis. Vol. 15(2), 56-67.
  4. Ilfiandra.  (2008).  Model  Konseling  Kelompok  Berbasis  Pendekatan  Kognitif Perilaku Untuk Mengurangi Gejala Prokrastinasi Akademik. (Disertasi). Bandung: SPS UPI.
  5. Safaria, T & Saputra, N. (2009). Manajemen Emosi. Jakarta : Bumi Aksara. Sugara,   Gian   Sugiana.   (2011).   Efektivitas   Teknik   Self-Instruction   dalam Menangani Kejenuhan Belajar. Skripsi PPB FIP UPI Bandung: Tidakditerbitkan.
  6. Tang, Chang Jung, (2006). The Effects of Self-Instruction Strategy on the Time Spent on Putting on Shoes Behavior in One Student with Cerebral Palsy. Journal of Chang Gung Institute of Technology. Vol. 6, 75-84.
  7. http://wawasanbk.blogspot.com/


Teknik Konseling Untuk Mengatasi Stress Siswa


Menurut hasil penelitian Nurmalasari (2011:90) stres akademik yang dialami  oleh siswa sangat dipengaruhi  oleh  pikiran  siswa  tersebut.  Pikiran berpengaruh sangat kuat bagi perasaan dan tindakan siswa yang mengalami stres akademik. Konseling kognitif-perilaku bisa dijadikan salah satu alternatif bantuan untuk mereduksi stres akademik yang dialami oleh siswa, hal ini sesuai dengan pendapat Beck (1995:1) yang  menyatakan bahwa konseling kognitif-perilaku merupakan konseling yang secara langsung dapat memecahkan masalah dengan memodifikasi disfungsi pikiran dan perilaku.Konseling kognitif-perilaku merupakansebuah pendekatan yang menekankan pada pentingnya peranaspek kognitif dalam permasalahan permasalahan individu.  Konseling kognitif-perilaku merupakan suatu treatment yang secara empirik berfokus pada pola  pikir maladaptif dan  keyakinan yang mendasari pemikiran tersebut (Warman danBeck, 2003).

Sedangkan  konseling kognitif-perilaku menurut  pandangan  Beck  yaitu berdasarkan  pada  alasan  teoritis  yang  mendasari bahwa emosi, motivasi, dan perilaku indvidu sangat ditentukan oleh cara  individu  tersebut  membangun dunianya. pemikiran subjektif, image, dan perasaan berakar pada sikap bertahan dan   asumsi bahwa individu  berkembang dari pengalaman sebelumnya.Pengalaman individu yang secara otomatis disaring melalui struktur kognitif yang telah dikategorikan dan dievaluasi (Metalsky & Laird dalam O’Donohue  & Fisher, 2009:35.

Bush (2003) menjelaskan bahwa pendektan kognitif-perilaku merupakan pendekatan psikoterapi yang terdiri dari dua ranah, yaitu kognitif dan perilaku. Mahoney dan Arnkoff (Dobson,  2010  : 12)  mengemukakan tigapendekatan utama dalam pendekatan kognitif-perilaku ini yaitu : (1) cognitive restructuring, (2) coping skills therapies, dan (3) problem solving therapies. Sedangkan Dobson dan Dozois (Dobson, 2010: 12) menyatakan bahwa pendekatan kognitif-perilaku memiliki  sejumlah  pendekatan  diantaranya  adalah  Rational  Emotive  Therapy, Cognitive   Therapy,   Self-Instructional   Training,   Stres   Inoculation Training, Problem Solving Therapy, Anxiety Management Training, systematic Rational Restructuring, dan Self-Control Therapy

Konseling kognitif-perilaku merupakan gabungan dari konseling kognitif dan konseling perilaku. Menurut  Matson dan Ollendick (Nurmalasari,2011:6) konseling kognitif-perilaku menitikberatkan pada pembangunan kembali pikiran negatif yang tersimpan di kognitif individu akibat kejadian yang merugikan. Fokus konseling adalah pada kepercayaan, persepsi, dan pikiran. Terdapat tiga proposisi mendasar pada konseling kognitif perilaku yang dilakukan oleh konselor yaitu (1) aktivitas kognitif mempengaruhi perilaku; (2) aktivitas kognitif dapat dipantau dan diubah; (3) perubahan perilaku yang diinginkan dapat dipengaruhi oleh perubahan kognitif  (Dobson, 2010: 4).

Saat ini konseling kognitif-perilaku sedang diterapkan sebagai treatment tunggal  ataupun  treatment  tambahan  untuk  kelainan-kelainan yang dialami individu. Misalnya  obsesive-compulsive  disorder  (Salkovskis  &  Kirk, 1989), posttraumatic stress  disorder  (Dancu  &  Foa,  1992;  Parrot  &  Howes,  1991), gangguan kepribadian (Beck et al.,1990; Layden, Newman, Freeman, & Morse, 1993; Young,1990), depresi (R. DeRubeis,1993), penyakit kronis (Miller, 1991; Turk, Meichenbaum, & Genest, 1983), hipokondriasis (Warwick & Salkovskis, 1989), dan schizophrenia (Chadwick&Lowe, 1990; Kingdon & Turkington, 1994; Perris, Ingelson, & Johnson, 1993). Sedangkan konseling kognitif-perilaku untuk kelompok  yang  mengalami  masalah  pisikiatrik  juga  sedang  dipelajari  seperti untuk  narapidana,  anak-anak  sekolah  dan  pasien  yang  mengalami  berbagai penyakit (Beck, 1995:2) Person,  Burns,  dan  Perlof  (Beck,  1995:3)  telah  menemukan  bahwa konseling kognitif-perilaku efektif diterapkan pada klien dengan level pendidikan, pendapatan, serta latar belakang yang berbeda. Hal ini merupakan hasil adaptasi dari kinerja klien mulai dari usia pra-sekolah sampai dengan usia lanjut.

Refrensi:

  1. http://wawasanbk.blogspot.com/2012/10/teknik-konseling-untuk-mengatasi-stress.html
  2. Beck, Judith. S. (1995). Cognitive Therapy : Basics and Beyond. New York: The Guilford Press. 
  3. Bush, J.W. (2003). Cognitive Behaviour Therapy: The Basics. [Online]. Tersedia www.cognitivetherapy.com/basic.html. [22 Oktober 2011]. Dobson, Keith. S. (2010). Hand Book of Cognitive-Behavioral Therapies. (Third Ed.). New York: The Guilford Press.
  4. Nurmalasari, Yuli.  (2011).  Efektivitas  Rekonstruksi  Kognitif  dalam Menangani Stres Akademik. Skripsi PPB FIP UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.
  5. O’Donohue,  William  &  Jane D.   Fisher.   (2009). General  Principle  and Empirically Supported Techniques of Cognitive Behavior Therapy. New Jersey : Jhon Wiley & Sons, Inc.
  6. Warman, Debbie Aaron T. Beck.(2003). Cognitive-Behavioral Therapy. [Online].Tersedia :www.nami.org/Template.cfmwww.nami.org/Template.cfm [15 Februari 2012].
  7. http://wawasanbk.blogspot.com/


Faktor Penyebab Stress Siswa


Banyak hal yang dapat  membuat orang menjadi  stres. Tak terkecuali dalam hal akademik,  siswa  mengaku  bahwa stres akademik dapat diprediksi berasal dari proses belajar untuk menghadapi ujian serta kompetisi yang ketat di kelas serta kemampuan untuk menguasai materi yang banyak dalam waktu yang singkat (Abouserie, 1994; Kohn & Frazer, 1986 dalam Misra & Castillo,2004). Tad (Sudiana, 2007) menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan stres akademik, diantaranya adalah :


Perkembangan kognitif remaja menurut Jean Piaget, merupakan  periode terakhir  dan  tertinggi  dalam  tahap pertumbuhan operasional formal. Pada periode ini idealnya remaja sudah mampu mencapai tahap pemikiran abstrak dan sudah mampu terbiasa berpikir kritis dan mampu menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik. Budiutomo dan Bracht menyatakan bahwa belum tercapainya perkembangan kognitif tersebut dapat memunculkan pemikiran- pemikiran yang negatif seperti : kebiasaan menunda, kelemahan dalam pengambilan keputusan, kecenderungan lupa atau lemahnya daya  ingat, kesulitan untuk berkonsentrasi, kehilangan harapan, berfikir negatif, berputus asa, menyalahkan diri sendiri, dan kebingungan.


Lokasi Sekolah. Lokasi sekolah yang menimbulkan stres pada siswanya antara lain : jarak yang jauh dengan tempat tinggal, dekat dengan pusat keramaian, sering terjebak kemacetan, dan rawan kejahatan. Kondisi   Sekolah. Kondisi  ruangan  yang kurang memadai, seperti ruangan yang terlalu sempit, penerangan yang kurang baik, ruangan yang kotor, ventilasi yang kurang dan suasana yang gaduh dapat menyebabkan stres  pada  siswa.  Fasilitas  sekolah  yang  tidak  lengkap, seperti  tidak tersedianya  lapangan  untuk  bermain,  dapat  menimbulkan stres pada siswa karena dengan bermain dapat melepaskan ketegangan yang dialami selama dikelas. Kondisi kelengkapan sarana umum seperti WC, telepon umum, dan fotokopi dapat menyebabkan siswa mengalami kesulitan saat berada di sekolah sehingga dapat memicu stres.

  1. Guru. Sifat pribadi guru yang dapat memicu stres pada siswanya antara lain  kasar,  suka marah,  kurang senyum, suka membentak, sinis, atau sombong, acuh, dan tidak adil. Sifat pribadi guru yang demikian dapat menyebabkan  ketidak  nyamanan dan ketidakharmonisan  antara  guru dengan siswa.
  2. Suasana atau kondisi di sekolah selalu diwarnai olehkompetisi diantara siswa. Bagi yang mampu mengelola stres, ia akan selalu terpacu dan terdorong oleh keadaan demikian, namun bagi siswa yang kurang bisa  mengatasi keadaan tersebut maka akan menjadi  suatu  tekanan. Hubungan antar siswa di kelas yang kurang hamonis dapat menimbulkan ketidaknyamanan misalnya seperti  kekerasan,  saling  mengejek, suka mengganggu, pembuat onar, egois, sombong dan tidak adil.
  3. Kurikulum.Bahan pelajaran yang berstandar tinggi atau sulit, pemadatan materi, serta pelajaran tertentu seperti pelajaran eksakta, dapat menjadi sumber stres bagi siswa.
  4. Tugas-tugas  Sekolah. Tugas-tugas  yang  terlalu banyak dan juga  sulit, dapat memicu terjadinya stres dikalangan siswa, hal tersebut disebabkan tuntutan yang dihadapinya tidak didukung oleh sumber  daya  yang dimilikinya.
  5. Ulangan. Stres sering diartikan lebih sempit sebagai perasaan terancam yang disertai usaha-usaha yang bertujuan untuk mengurangi ancaman ancaman yang datang. Bagi kebanyakan siswa, ulangan  menimbulkan ancaman kegagalan yang berusaha diatasi dengan belajar. Pada situasi ujian, sebagian  besar dari  mereka  lupa  atas  apa yang telah  mereka pelajari. Ketegangan dapat dijadikan salah satu alasannya karena siswa cemas akan kegagalan dalam ujian.
  6. Kegiatan Ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler yang  padat dan banyak  dapat  menjadi  sumber  stres, hal ini dikarenakan siswa tidak memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat untuk melepaskan ketegangan fisik dan psikologisnya.
Hasil penelitian Schafer (Rafidah et al., 2009) menyatakan bahwa hal-hal yang  menyebabkan siswa merasa  stres adalah stressor yang bersumber dari masalah akademik seperti tekanan dalam belajar,  waktu yang sangat singkat, membuat makalah, ujian, serta pengajar yang membosankan. Dari sekian banyak stresor tersebut, tes atau ujian merupakan penyebab utama dari stres akademik yang mereka alami dan sebagian besar siswa terlihat lebih rentan secara emosionaldalam menghadapi ujian.

Penelitian  Agolla  &  Ongori (2009)  juga  menyatakan bahwa  faktor penyebab utama terjadinya stres akademik dikalangan siswa adalah beban tugas akdemik, sumber daya yang  tidak memadai,  motivasi  rendah, terus menerus berada dalam situasi akademik, ruangan yang terlalu sesak, serta ketidakpastian mendapatkan pekerjaan setelah lulus sekolah.

Refrensi :

  1. http://wawasanbk.blogspot.com/2012/10/faktor-penyebab-stress-di-sekolah.html
  2. Agolla, Joseph E.&Henry Ongori. (2009). An Assessment of Academic Stress Among UndergraduateStudents: The Case of University of Botswana. Educational Research and Review. Vol. 4 (2) pp. 063-070.
  3. Misra,  Ranjita  dan  Castillo,  Linda.  (2004).  Academic  Stress  Among  College Students   :   Comparison   of   American   and   International   Students. International Journal of Stress Management, Vol.11(2), 132-148.
  4. Rafidah, K., Azizah, A., Norzaid, M. D., Chong, S. C., Salwani, M. I. & Noraini, I.  (2009).  The  Impact  of  Perceived  Stress  and  Stress  Factors  on Academic Performance of Pre-Diploma Science Students: A Malaysian Study.  International  Journal  of  Scientific  Research  in  Education,  Vol. 2(1), 13-26.
  5. Sudiana,  Dian.  (2007).  Kondisi  Stres  Siswa  Sekolah  Menengah  Kejuruan  dan Faktor-faktor  Penyebabnya.  Skripsi  PPB  FIP  UPI  Bandung.  TidakDiterbitkan.
  6. http://wawasanbk.blogspot.com/

Gejala Stress Akademik


Helmi (Safaria & Saputra,2009) menyatakan bahwa ada empat macam reaksi stres,  yaitu  reasi psikologis/psikis, fisiologis, kognitif, dan perilaku. Keempat macam reaksi ini dalam perwujudannya dapat bersifat positif, tetapi juga dapat berwujud negatif. Reaksi gejala stres akademik yang bersifat negatif antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Reaksi Psikologis. Aspek ini lebih dikaitkan pada aspek emosi seperti mudah  marah, sedih, mudah tersinggung, hilang rasa humor, mudah kecewa, gelisah ketika menghadapi ujian atau ulangan, takut menghadapi guru yang galak, dan panik ketika banyak tugas.
  2. Reaksi Fisiologis.Muncul  dalam  bentuk  keluhan  fisik  seperti  sakit  kepala,  sakit  lambung, hipertensi, sakit jantung atau jantung berdebar-debar, insomnia, mudah lelah, gatal-gatal  di  kulit,  rambut  rontok, keluar keringat dingin, kurang selera makan, dan sering buang air kecil.
  3. Reaksi proses berpikir(kognitif). Tampak  dalam  gejala  sulit  berkonsentrasi,  mudah  lupa,  bingung, berpikir negatif, prestasi menurun, kehilangan harapan, merasa  diri  tidak  berguna, merasa tidak menikmati hidup ataupun sulit mengambil keputusan.
  4. Reaksi perilaku. Tampak perilaku-perilaku seperti gugup, suka berbohong, sering bolos, tidak disiplin (melanggar peraturan sekolah), tidak peduli materi pelajaran, suka menggerutu,  sulit  berkonsentrasi, malas belajar, sering  tidak  mengerjakan tugas, suka mencontek, menyendiri, takut bertemu guru, bahkan bisa nampak dalam perilaku menyimpang, seperti merokok serta mabuk-mabukan.
Hal tersebut senada dengan hasil penelitian Agolla & Ongori (2009) yang menyatakan bahwa gejala stres akademik itu ditandai dengan kekurangan energi (lemas),  tekanan  darah  tinggi,  perasaan  depresi,  sulit  berkonsentrasi,  kenaikan napsu makan, gelisah, tegang, dan cemas.

Refrensi :

  1. http://wawasanbk.blogspot.com/2012/10/gejala-stress-akademik.html
  2. Agolla, Joseph E.&Henry Ongori. (2009). An Assessment of Academic Stress Among UndergraduateStudents: The Case of University of Botswana. Educational Research and Review. Vol. 4 (2) pp. 063-070.
  3. Safaria. T. (2007). Stres Ditinjau Dari Active Coping, Avoidance Coping, dan Negative Coping.  Makalah pada Konfrensi Nasional Stres Manajemen dalam Berbagai Setting Kehidupan.
  4. http://wawasanbk.blogspot.com/

Konsep Stres Akademik


Sekolah mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan dan perkembangan  peserta didik. Sekolah dipandang dapat memenuhi beberapa kebutuhan  peserta  didik dan menentukan kualitas kehidupan  mereka dimasa depan. Tetapi sekolah  juga  dapat  memicu  terjadinya stres dikalangan peserta didik. Tekanan  akademik  dan  sosial  dapat  memicu  terjadinya  stres  (Blizzard,1996).

Chapman, et al. (1992) mengungkapkan bahwa stres akademik merupakan konsekuensi dari penilaian siswa terhadap tuntutan yang stressfull dan persepsi  mereka tentang kemampuan yang mereka miliki untukmengatasi tuntutan tersebut.

Stres akademik merupakan stres yang disebabkan oleh academic stressor. Academic stressor yaitu stres siswa yang bersumber dari proses belajar mengajar atau hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan belajar yang meliputi: tekanan untuk naik kelas, lama belajar, mencontek, banyak tugas, mendapat nilai ulangan,  birokrasi,  mendapatkan  beasiswa,  keputusan  menentukan  jurusan  dan karir serta kecemasan ujian dan manajemen waktu (Desmita,2011: 297).

Penelitian Wilks (2008) menunjukkan bahwa masa menempuh pendidikan di  sekolah menengah merupakan suatu pengalaman yang berharga bagi remaja,  tetapi disisi  lain banyak siswa berpendapat  bahwa menempuh pendidikan yang  lebih tinggi merupakan masa transisi yang ditandai  dengan seperangkat  tuntutan yan berkaitan dengan pengaturan. Stres akademik merupakan produk kombinasi dari tuntutan terkait dengan bidang akademik yang melebihi kemampuan yang dimiliki individu.

Refrensi :

  1. http://wawasanbk.blogspot.com/2012/10/konsep-stres-akademik.html
  2. Blizzard,  Gayle  Armstrong.  (1996).  Helping  Your  Child  Deal  With  Academic Stress. [Online]. Tersedia : http:// www.edumart.com /helping-your-chid-dealwith-academic-stress.pdf. [18 Oktober 2011].
  3. Chapman,  David.  W  et  al.,.  (1992).  Academic  Stress  of  International  Studen Attending U.S. Universities. Research in Higher Education. Vol.33 (5).
  4. Desmita. (2011). Psikologi Perkembangan Peserta Didik: Panduan bagi Orang Tua  dan Guru dalamMemahami  Psikologi  anak Usia  SD, SMP,  dan SMA. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
  5. Wilks,  Scott.  E.  (2008).  Resilience  a  mid  Academic  Stress:  The  Moderating Impact  of  Social  Support  among  Social  Work  Students.  International Journal of Social Work, Vol. 9(2), 106-125
  6. http://wawasanbk.blogspot.com/

Konsep Stress


Stres dapat didefinisikan sebagai “ a particular relationship between the person and the environment that is appraised by the person  as  taxing or exceeding his or her resources and endangering his or her well being(Lazarus & Folkman, 1984:19).

McGrath (Roberson,1985) menyatakan bahwa stres merupakan suatu keadaan yang diras tidak seimban antar tuntutan yang dihadapi individu Dengan kemampuan merespon tuntutan tersebut. A. Baum (Shelley E. Taylor dalam Yusuf,  2004)  mendefinisikan stres sebagai  pengalaman  emosional  yang negatif yang disertai perubahan-perubahan biokimia, fisik, kognitif,dan tingkah laku. Atkinson (Lehrer et.al,2007:22) mengemukakan stres mengacu pada persitiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang.

Vermunt et. al, (Agolla & Ongori, 2009) mendefinisikan stres sebagaisuatu  persepsi ketidaksesuaian  antara  tuntutan  lingkungan  dengan  kapasitas individu untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Dari beberapa definisi stres menurut para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa stres merupakan konsekuensi dari penilaian individu terhadap peristiwa yang dianggap melebihi kemampuan yang dimiliki serta membahayakan kesejahteraan individu baik dari sisi psikologis atau fisiologis.

Selye  (Desmita,  2011:299)  menggolongkan stres menjadi tiga bentuk yaitu:


  1. Distress, Distress  ini  diasosiasikan dengan respon terhadap stres yang bersifat  tidak memuaskan dan merusak pada pada keseimbangan fungsi tubuh individu.
  2. Eustress, Merupakan respon terhadap stres yang bersifat memuaskan yang dapat membangkitkan fungsi optimal tubuh, baik fungsi fisik maupun fungsi psikis.
  3. Neustress, Mengacu pada respon stres individual yang bersifat netral, yang tidak memberiakibat  negatif atau positif, namun menyebabkan tubuh berada  pada fungsi internal yang mantap, tetap berada dalam keadaan homeostatis.
Refrensi :
  1. http://wawasanbk.blogspot.com/2012/10/konsep-stress.html
  2. Agolla, Joseph E.&Henry Ongori. (2009). An Assessment of Academic Stress Among UndergraduateStudents: The Case of University of Botswana. Educational Research and Review. Vol. 4 (2) pp. 063-070.
  3. Desmita. (2011). Psikologi Perkembangan Peserta Didik: Panduan bagi Orang Tua  dan Guru dalamMemahami  Psikologi  anak Usia  SD, SMP,  dan SMA. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
  4. Lazarus, Richard. S dan Folkman, Susan. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company.
  5. Lehrer, et al. (Eds).(2007). Principle and Practice of Stress Management. (Third Ed.). New York: The Guildfor Press
  6. Roberson, Janice Blair. (1985). The Effect of Stress Inoculation Training in a Classroom Setting  on  Staterait  Anxiety  Level  and  Self  Concept  of Early Adolescents (Dissertation). Texas : Graduate  Faculty of Texas Tech University.
  7. Yusuf, Syamsu. (2004). Mental Hygiene. Bandung: Bani Quraisy
  8. http://wawasanbk.blogspot.com/
 
Copyright Wawasan BK All Rights Reserved
ProSense theme created by Dosh Dosh